Jatuh Cinta Diam-Diam 2

Tidak apa-apa. Aku mengerti. Duka dan kesedihan selalu membutuhkan nada kegembiraan, meskipun ada dunia di sekelilingnya. Meskipun ada aku di sampingnya. Tidak mengapa. Aku memaklumi. Wajah lelah Angsana sudah cukup memberi arti untuk kukantongi dan kubawa pulang nanti.
Diamnya masih mengalahkan diamku. Tatapanku masih setia dan tak akan luntur meski disungut waktu. Dia cita-citaku. Sudah. Cukup begini saja.

Logika. Ia tak pernah berjalan beriringan dengan hati. Ia selalu berlawanan seperti hitam dan putih, baik dan buruk, atau kanan dan kiri. Logika, ia selalu memintaku untuk menyerah dan berhenti bermimpi. Tak lupa ia juga menyuruhku untuk tahu diri.

Kalau saja setiap waktu nggak harus berevolusi, kalau saja setiap momen bisa menetap. Juga usiaku, juga waktu saat kita saling kenal bisa kuabadikan, meski hanya satu hari, akan kulakukan apa pun untuk itu

Sekuat apa pun logika menyuruhku untuk menyerah, tapi hati selalu punya kekuatan untuk terus menyimpan asa, dan logika pun kalah

Seperti kata Erza Scarlet, “Moving on doesn’t mean you forget about things. It’s just means you have accepted what happened and continue living.”

“Moving on doesn’t mean you forget about things. It’s just means you have accepted what happened and continue living.”

Aku tak ingin memaksa Tuhan untuk menentukan ending-nya seperti yang aku inginkan. Biar saja, Tuhan tahu apa yang terbaik untuk setiap umat-Nya, begitu pun untukku.

cinta memang tak selalu bisa diucapkan, tapi cinta selalu bisa ditunjukkan. Cinta memang tak selalu bisa dimiliki, tapi cinta selalu bisa diperjuangkan.

Berbulan-bulan aku mencoba menyibukkan diri dan berusaha melupakannya.

Berawal dari perasaan kagum
Kemudian menjadi suka
Lama-lama menjadi cinta
Menunggu sekian lama
Hingga perasaan cinta ini luntur
Terkalahkan oleh rasa sakit