Niskala

hari karena peristiwa di Negara Daha. Namun kini penyesalan itu lenyap berganti dengan rasa syukur yang tak terhingga

Itulah Madakaripura, pura tempat Gajah Mada menyepi setelah tenaganya sebagai Mahamantri Agung Majapahit dianggap sudah selesai. Ia dianggap sudah selayaknya menikmati hari-hari di masa senjanya.

“Tunggu, Angga,” kata Dyah Dahawardani.

Anggalarang menoleh.

“Kau tak akan melupakan aku, kan?” tanya Dyah Dahawardani. Wajahnya tertunduk kemerahan.

“Aku pasti akan selalu mengingatmu,” balas Anggala

Sugan aya nu dek nurutan inya twah nu surup ka Nusalarang. Pakeun heubeul jaya dina buana, pakeun nanjeur na juritan.

Banyak yang bisa dipelajari dan diserap dari petualangan hidup di segenap pelosok negeri. Sebagaimana semua leluhurnya, ia bisa menghirup udara hutan dan pedesaan tiap hari, merasakan berbagai persoalan yang dihadapi rakyat secara langsung, menyaksikan dengan mata sendiri berbagai kemajuan, atau kemunduran, yang dialami negeri ini, dan menimba dari siapa

Mereka lebih baik gugur berkalang tanah daripada hidup menanggung nista.

“Kami menyebutnya Sambhara Buddhara.”

Dewi Ratna Sarkati,”

orang menyapa dengan sebutan “Ki Dulur”, di sini ia mendengar sapaan “Ki Sanak”. Memang berbeda, tapi sesungguhnya sama. Baik “Ki Dulur” maupun “Ki Sanak” mengandung arti yang sama. “Dulur” dan “sanak” sama-sama berarti “saudara”.

“Dengarlah wahai pepohonan, angin, awan, matahari, dan langit yang biru, selama aku masih bisa menghirup udara dan menatap langit, aku tak akan berhenti memburu satu nama: Gajah Mada. Dengarlah, aku bersumpah, aku akan mencarinya walaupun harus ke ujung dunia dan menghadapinya sebagai sesama pria,” ucap Anggalarang.